Jakarta –
Di balik keindahan alam Indonesia yang mempesona terdapat beberapa kisah-kisah tragis yang terselubung di dalamnya. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di lereng sebelah barat Gunung Slamet yang terdapat di Jawa Tengah. Ini bukan cerita mistis atau horor yang dilakukan oleh jin atau makhluk halus lainnya, tapi justru lebih seram daripada itu; ini adalah ulah dari beberapa manusia. Ya, sebagaimana kita ketahui bahwa ketika manusia dipertemukan dengan kepentingan pribadinya, dia bisa lebih keji dibanding yang menghasutnya.
Lereng barat Gunung Slamet menjadi sebuah landscape yang miris; lahan yang seharusnya dijadikan hutan lindung telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian yang dilakukan oleh beberapa oknum tanpa pertimbangan kelestarian. Hal ini sudah dimulai dari 2010, persaingan antara keuntungan pribadi dan kepentingan umum. Beberapa kelompok telah melihat potensi ekonomi dalam mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Mereka mengabaikan kepentingan umum dan dampak ekologis yang akan terjadi sebagai akibat dari tindakan mereka.
Pembukaan lahan pertanian baru bisa menghasilkan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi mereka yang terlibat. Namun, konsekuensinya sangat serius. Ketika hutan digunduli dan tanah digarap tanpa pertimbangan ekologis yang cermat, itu dapat menyebabkan erosi tanah yang signifikan, menurunkan kualitas tanah, dan memicu longsor, tanah bergerak, bahkan banjir.
Longsor sudah menjadi salah satu dampak paling nyata dari peralihan fungsi tersebut, tepatnya terjadi di Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes yang persis di bawah lereng sebelah barat Gunung Slamet. Tanah yang telah kehilangan lapisan tumbuhan yang berfungsi sebagai penahan aliran air hujan menjadi sangat rentan terhadap erosi. Air hujan yang turun dengan intensitas tinggi menyebabkan tanah longsor, dan desa-desa yang berada di Kecamatan Sirampog menjadi sasaran utama.
Selain longsor, banjir juga mulai terjadi dari 2021 di Desa Dawuhan dan Igirklanceng; banjir ini tentunya cukup tinggi, dan membuat kerusakan serta kerugian pada rumah-rumah warga. Setelah banyaknya longsor dan banjir, beberapa desa di Kecamatan Sirampog juga mengalami bencana tanah bergerak, hingga membuat jalan utama kecamatan amblas dan rumah-rumah warga hancur.
Jalan yang amblas akibat tanah yang bergerak itu telah beberapa kali diperbaiki hingga menyebabkan jalan menurun kemudian menanjak, jika dilihat dari samping akan seperti huruf V. Namun karena tanah bergerak ini masih sering terjadi, meski jalan yang pecah telah diaspal dan diperbaiki, jalan tersebut kembali amblas hingga menyebabkan jalan jadi curam dan sulit dilewati, terutama kendaraan-kendaraan roda empat, terkadang bisa turun kembali pada saat menanjak. Hal ini sangatlah miris mengingat itu adalah jalan utama kecamatan. Pada akhirnya jalan utama tersebut dipindahkan dan membuat jalur baru.
Bisa diketahui betapa besarnya kerugian yang dialami di daerah tersebut. Satwa liar yang bergantung pada hutan untuk hidup mereka kehilangan habitatnya, rumah-rumah hancur, lahan pertanian rusak, dan nyawa manusia terancam oleh longsor dan tanah bergerak yang terjadi sebagai akibat dari tindakan tidak bertanggung jawab oknum tersebut.
Sampai saat ini alih fungsi hutan lindung menjadi lahan pertanian diketahui telah mencapai 864,5 hektar. Angka yang sangat fantastis, dan 13 tahun waktu yang dibutuhkan masyarakat untuk menyadarinya, namun masih saja ada masyarakat yang tidak peduli akan hal tersebut, atau membiarkannya saja, meskipun telah diedukasi oleh beberapa relawan lingkungan. Hal ini lah yang kemudian membuat para relawan lingkungan geram.
Relawan yang terdiri dari Komunitas Jaga Rimba dan ormas Muhammadiyah akhirnya membulatkan tekat untuk melaporkan para oknum tersebut ke Polres Brebes. Meskipun, banyak dari oknum tersebut adalah masyarakat dari desa yang ada di Kecamatan Sirampog sendiri. Mendengar adanya pelaporan tersebut ternyata tidak serta merta langsung membuat para oknum menyerah.
Relawan lingkungan di desa terus mendesak agar oknum pembalakan hutan segera berhenti, namun hal tersebut justru menimbulkan kericuhan, dan ada dua hingga tiga relawan yang dikeroyok oleh oknum pembalakan hutan hingga babak belur dan dibawa ke rumah sakit. Hal ini sangatlah miris; mereka sudah menyebabkan kerusakan, namun ketika diingatkan mereka justru menambahkan kejahatan lagi.
Hingga saat ini, Polres Brebes masih saja belum bertindak. Para oknum masih berkeliaran, meski sudah sangat jelas mereka telah melanggar peraturan, lahan yang mereka ubah adalah lahan hijau yang seharusnya menjadi hutan lindung, bencana alam yang terjadi di Sirampog tentunya berkaitan dengan kegundulan hutan lindung yang berada di atasnya. Kini yang bisa diandalkan untuk menjaga hutan lindung hanyalah relawan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Mereka harus sering menaiki lereng secara bersama-sama untuk mengecek, dan mengusir para pembalakan hutan. Dan, untuk melakukan perbaikan pada hutan lindung yang telah gundul, para relawan mengadakan reboisasi, penanaman pohon kembali pada Rabu, 1 November 2023.
Ketidaktegasan Polres Brebes tentunya menjadi kekecewaan yang mendalam, mengingat seharusnya para pelaku mendapat pasal berlapis, yaitu kerusakan hutan dan pengeroyokan, namun sampai detik ini para pelaku masih saja dibiarkan bebas. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah proses pelaporan memanglah selama itu? Tentu menjadi tanda tanya yang besar bagi masyarakat sekitar.
Gunung Slamet hanya salah satu dari banyak masalah yang melibatkan pertarungan antara keuntungan pribadi dan kepentingan umum. Namun, kita tidak boleh menyerah pada kehancuran lingkungan ini. Perlindungan alam adalah tanggung jawab masyarakat bersama sebagai manusia. Dengan tindakan yang tepat dan kesadaran yang meningkat, kita dapat mengubah cerita seperti itu. Jika penegak hukum tidak segera bertindak, maka menjadi hak masyarakat untuk terus bersuara; hukum harus ditegakkan.
Masyarakat harus terus mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum. Tindakan segera dan kesadaran masyarakat adalah kuncinya. Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak boleh lengah dengan segala situasi yang terjadi di wilayahnya, dan sebagai masyarakat sudah seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi akan kebijakan-kebijakan dan hukum. Sebagai makhluk yang paling berakal sudah seharusnya ilmu itu digunakan, bukan hanya keinginan pribadi saja.
Simak juga ‘Saat Hutan Pinus di Kaki Gunung Semeru Terbakar’:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)
Source : news.detik.com
Alhamdulillahi Robbil Aalamiin, Allohumma Sholli Ala Rosulillah Muhammad Warhamna Jamii’a.